Monday, June 7, 2010

" KINANTI "




“Wetni twang ning windhya ri sang siddha agastya. Mandeh mendek mari manundul suka tang rat”

Kinan mendongak ke atas seraya tersenyum pada malam. Angin pegunungan yang bertiup kencang tak menghalanginya terus menatap langit. Rambut panjangnya yang hitam terlempar ke sana ke mari, bergoyang cantik tertiup angin. Matanya yang bulat bercerita banyak pada yang dipandangnya, rembulan setengah paro. Kinan tidak mengerti dengan apa yang dia rasakan. Namun, dia ingin belajar untuk mengerti. Kakinya yang terbalut kain menekuk dengan indahnya, jari-jari lentiknya menari mengikuti alunan nyanyian angin pegunungan. Sebuah darshan yang terbakar tergeletak di sampingnya, menemani Kinan dengan harumnya yang menyengat. “Aku ingat dia, Wahai Bhattaraka. Memahami mata yang ia pejamkan, sangatlah sulit. Apa artinya?” Bisik Kinan sambil terus menengadah ke atas, menatap rembulan setengah paro yang semakin tertutup awan hitam. Jari-jari lentiknya berhenti bergoyang. Kepalanya tertunduk. Rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya yang ayu. Rembulan telah pergi sementara awan hitam menutupi dirinya. Bintang pun belum muncul, seakan mengerti isi hati Kinan yang sedang merindu tak tahu malu. Kinan tak juga berdiri pergi meninggalkan peraduannya yang sunyi.

“Oleh karena kekaguman Windhya terhadap Agastya yang sempurna itu, gunung pun merendah dan membungkuk, tanpa mendorong langit ; dengan demikian dunia pun bergembira”. Kinan mengingatnya kembali. “Ooo… Agastya yang sempurna…bahkan gunung pun merendah dan membungkuk. “ Lanjutnya sambil terus memandang jauh. Hati Kinan kian tak tentu. Kembali terbayang pada mimpinya semalam. Dia yang datang memeluk, tak juga pergi dari ingatan Kinan.
“Kini apakah gunung akan membungkuk dan merendah untukmu, lelaki dalam mimpi? Ah, kau tak sempurna, maka tak ada satupun yang merendah dan menunduk. Pun dengan aku…”. Kinan menguatkan perasaannya. Tidak ada yang membuat laki-laki yang datang dalam mimpi itu menjadi sesosok sempurna untuk Kinan. Ingin sekali rasanya Kinan membuang jauh-jauh ingatan tentangnya. Menepis semua yang dia rasakan sekarang.

Ratusan kata yang pernah keluar dari mulutnya ingin sekali rasanya ia tangkap. Lalu memenjarakannya di sebuah sangkar agar tak lagi lepas. Namun, ingin sekali rasanya, waktu yang kini terus berlari ia tusuk dengan kujang lalu mati dan berhenti berputar. Berhenti lama, lalu berbalik menuju masa lalu. Dan dapat dibayangkan, apa yang ada di ingatan Kinan pasti akan berangsur membaik di dalam kepalanya. Dan menerobos centil masuk dalam kepala Kinan.

“Aaah, andai Bhattaraka… andai… mimpi itu benar. Andai dia merasakan hal yang sama denganku. Andai Bhattaraka… dia mengunjungiku dalam mimpi semalam… Andai kau pertemukan aku kembali dengannya, apa yang akan kutangisi lagi ? masihkan aku akan duduk di sini, memandang bulan yang pergi dengan cepat dan mengadu padaMu, wahai Bhattaraka ?” Lalu Kinan berdiri. Mematikan darshan dan bergegas pergi meninggalkan peraduannya. Harum darshan yang terbakar telah bercampur dengan bunga camboca. Bersatu dengan udara malam, melayang jauh. Mungkin menuju dudukan para resi dan Bhattaraka. Menghantarkan puji dan doa dari Kinan. Jauh dari peraduan Kinan, dimana ia biasa mengadu pada Bhattaraka, seorang lelaki dengan raga halusnya kembali mengikuti seorang perempuan ayu, memasuki mimpi seperti malam-malam sebelumnya. Tak lama, Kinan telah tertidur di bawah patung Kumbhayoni…

No comments:

Post a Comment