Sunday, June 13, 2010

Pesan Dari Jayapura

Rabu, 10 Desember 2008

Pesan dari Jayapura

8 Desember siang

Ibu sibuk di dapur kecil kami. beberapa menit yang lalu, panitia membagi-bagikan daging qurban pada warga disekitar rumah kami. pun dengan rumah kami. Ibu sibuk menyiapkan bumbu-bumbu dapur untuk memasak daging. Ia tidak sendiri, dibantu mbak Yem. Mereka sibuk di dapur.
Bulan ini bukan bulan biasa bagi moslem. bukan bulan biasa bagi sebagian orang-orang. Dan bukan bulan biasa bagiku.

Siang itu ibu memasak. Suatu hal yang jarang ibu lakukan. Kami senang. Aku dan adik-adikku. Ini hari yang menyenangkan. Aku bercanda dengan mereka, lelaki-lelaki dalam hidupku...adik-adikku. Kami tertawa. Ibu ikut tertawa. Semua tertawa. Kami semua senang. Karna ini pun suatu hal yang jarang sekali kami lakukan. Kami saling bercerita, banyak cerita. Tapi, lagi-lagi, aku tidak bisa membunuh waktu. Waktu mengalahkan tawa kami. Aku pulang. Diantar ibu. Hanya berdua. Kami banyak diam, tidak seperti biasanya. Ibu hanya memberitahuku, malam ini dia akan terbang,menuju Jayapura. Ini hal yang biasa...sebenarnya. Tapi, hari itu tidak biasa. Aku ingin menyuruhnya untuk tidak pergi. Aku ingin dia tetap di rumah. Di rumah kami. Bersama adik-adik. Itu saja. Biar masih terasa senang. Biar masih terasa tawa siang tadi. Terus menerus. Melulu.
Aku berlari mengejar bis. Melompat masuk ke dalam bis yang sedang melaju pelan. Kulihat wanita itu memandang ke arah bis yang kutumpangi. Tersenyum, lalu melambai ke arahku. Ah, aku terlalu terburu-buru. Tidak sempat mencium tangannya. Mengucapkan hati-hati untuk perjalanannya nanti malam. Lalu, wanita cantik berkerudung hijau itu pun sudah tak tampak lagi, bis terus melaju. Tak peduli.

9 Desember Pagi

Sebuah pesan masuk.
Ib sdh sampai di jayapura. Di sini sdh jam 7 kurang. Km ud bangun? kuliah.

Dari : _Ibu
05:46 09/12/08

Pesan dikirim
Iya..baru bangun. Aku kuliah hari ini.Aku titip noken, ya klo sempet cari. tks.

Pagi itu, kubayangkan dirinya lagi. Bayangan ketika ia terakhir melambai ke arahku. Wanita cantik berkerudung hijau. Dan Bis yang terus melaju tidak peduli.

Jatinangor, 9 Desember malam.

Sebuah pesan masuk:

Selamat ulang Tahun. Mudah-mudahan jadi anak shalihah. Di jayapura sekarang sdh tgl 10 Des.
Dari : _Ibu
22:45 09/12/08

Tak kubalas. Lalu, aku teringat pada dirinya. Wanita berkerudung hijau. Lambaian terakhirnya sore itu. Dan bis yang terus melaju. Tak Peduli. Ah, andai sempat kucium tangannya...Andai waktu dapat terbunuh oleh kami. Pesan dari Jayapura melalui alat komunikasi bernama handphone saja yang meramaikan hari ini. Sedikit meramaikan hati.
sedikit mengingatkanku pada wanita cantik yang melahirkanku...

Akan kukatakan tiap tahunnya, tiap bulannya, tiap harinya...
" Terimakasih ibu...sudah memperkenalkanku pada dunia dan dirimu juga hidupku yang melulu membutuhkanmu..."

SEND...
_Ibu
10/12/08

Saturday, June 12, 2010

Surat usang di atas Gincu

Terkantuk-kantuk seorang perempuan membaca sebuah surat. Di bawah lampu yang temaram, ia mencoba membaca.
Kertasnya coklat, karna termakan waktu dan rayap. Di sisi-sisi kertasnya, penuh dengan lubang-lubang kecil. Baunya apek. Bahkan tulisan yang digores dengan sebuah pena mahal itu pun sudah semakin memudar. Membaur dengan usangnya kertas surat. Tetapi tulisan itu selalu ia baca sebelum tidur. Si perempuan tak dapat menahan rindu yang kian terbendung lama. Dengan membaca surat usang itu, ia merasa dekat dengan pengirimnya. Seperti membawa seribu rencana yang pernah ada.
Antara waktu, dirinya dan seseorang di masa lalu.

"Mak, lupakan dia. Suratnya sudah semakin rapuh saja. Pun itu tidak akan mengembalikan ia di sini.Untuk bersamamu di kamar sempit dan lembab ini. Dia sudah punya kamar yang lebih indah." Seorang perempuan yang lebih kecil tiba-tiba datang dan berdiri dibelakangnya. Menatap perempuan tua berkacamata di depannya.

"Ya. Tapi rindu ini menyiksa.Kau kan tak tau rasanya. Sudah sana, tidur saja!" Balas si perempuan sambil menyembunyikan surat.

"Aku tau. Itu mengapa aku suruh kau lupakan itu, Mak !Membacanya saja aku tak pernah kau izinkan. Coba, aku baca itu. Penasaran aku lihat kau bertahun-tahun membacanya tiap malam dan menitikkan air mata sesudahnya. Apa isi surat itu? " Si perempuan lebih kecil mendekat. Mencoba meraih surat yang semakin rapuh itu. Lampu kamar bergoyang tertiup angin. Ruangan meredup.

"Ah, sudahlah. Kau tidur saja ! Aku juga harus tidur. Kalau perlu tidur selamanya. Agar tak perlu membaca surat ini lagi." ia menggerakkan tangannya cepat. Menyembunyikan surat di bawah bantalnya yang tidak kalah tua dengan si surat. Bantal tak bersarung.

"Ya. Mudah-mudahan. Biar kau tau, kalau ingin lupakan, ya mulailah untuk tidak baca surat itu. Bosan aku tiap malam melihatmu begini. Lama-lama, kupenggal orang yang menyuratimu itu !!"
Dua perempuan tertidur dengan lelapnya. Terbawa mimpi yang entah indah atau buruk. Wajah si perempuan tua yang berkerut semakin tua. Tapi masa lalu masih menempel, diantara kerutan-kerutan wajahnya. Tak hilang.

"Masa lalu yang sialan !!" Umpat perempuan dalam igaunya.

Aku dan drum-drum berisi air ( 1 )

Seperti biasa, di awal hari ini aku sudah mendahului matahari terbangun. Sebuah drum besar, dua drum kecil dan beberapa buah ember warna-warni telah siap kuisi penuh dengan air. Demi memenuhi kebutuhan satu rumah dalam satu hari ini. Masih gelap di luar. Sedikit pantulan cahaya dari lampu-lampu di sekitar rumahku cukup menerangiku dalam bekerja di pagi ini. Ini hari minggu. Hari libur seluruh anggota keluargaku. Dan kini sebelum matahari dan saudara-saudara laki-lakiku terbangun, aku sudah harus bergerak cepat, agar mereka semua bisa mandi, agar ibu dan nenekku bisa memasak dan mencuci, agar ayahku bisa mencuci mobil dan agar aku bisa menge-pel rumah atau menyiram tanaman sore nanti. Ini adalah tugas rutin setiap hariku sebelum matahari terbangun. Seperti inilah, kami sekeluarga harus kompak dalam hal ini. Kau tahu? Air di rumah kami sangat diperlukan. Dan kami tidak bisa seenaknya memakai air. Di kampongku, air dibatasi. Setiap jam delapan pagi, kami sudah tidak bisa mendapatkan air lagi. Rumahku termasuk rumah yang tidak memakai sumur timba. Aku tidak tahu pasti, apakah kami menggunakan pompa atau sejenis lainnya, tapi yang pasti, setiap hari, kami berburu dengan waktu agar semua drum dan ember-ember di rumahku terisi penuh dan dapat mencukupi kebutuhan kami sekeluarga hingga esok pagi lagi.

Drum besar telah terisi penuh. Harum masakan dan asap putih yang berasal dari kepulan nasi hangat di dapur sudah mulai terasa. Itu nenekku yang sedang memasak. Dan ibuku pasti sedang membersihkan rumah. Sementara itu, ayah dan saudara laki-lakiku masih tertidur lelap. Drum-drum dan ember-ember ini berada di luar bangunan rumah. Di halaman belakang yang sengaja sebagian ruangnya digunakan untuk mencuci dan menampung air. Tetapi kau tahu ? Inilah kamar mandi istimewa favoritku. Setiap aku melakukan tugasku mengisi drum-drum ini, aku selalu memanfaatkannya sembari mandi. Tidak peduli ini hari libur atau hari sekolah, mandi pagi sembari bermain dengan drum-drum ini adalah hal wajib bagiku. Dan aku menyenanginya. Selain badanku akan terasa segar, aku pun tak perlu repot mendengar suara ibu atau nenekku berteriak untuk menyuruhku mandi. Seperti yang dialami kakak dan adikku. Mereka selalu menjadi incaran nenek dan ibu tiap pagi untuk diteriaki karena malas mandi. Hehehe….

Aku tinggal di daerah pegunungan. Udara di sini dingin sekali. Udara akan terasa panas ketika jam menunjukkan sekitar pukul sepuluh atau sebelas siang hingga jam tiga sore. Aku sangat menyukai udara sejuk di kampungku. Tetapi, kata ibuku suatu hari, udara dingin seperti ini membuat badan kami sekeluarga menjadi bulat, besar-besar. Hehehe…itu karena udara dingin membuat kami selalu ingin mengunyah sesuatu. Mudah sekali lapar, begitu ujar nenekku. Tetapi, aku dan saudara laki-lakiku jarang sekali diizinkan membeli makanan di luar. Kata ayahku, uang yang kami miliki lebih baik ditabungkan saja di celengan tanah liat kami. Dan karena peraturan itu, ibu dan nenekku sering sekali memasak. Mereka memasak apapun. Dan seringkali mereka memasak makanan yang tidak pernah aku temui dikantin sekolah atau di toko-toko. Aku senang sekali jika aku diminta oleh ibu atau nenek untuk membantu mereka di dapur. Entah itu menyiapkan piring, menggoreng atau hanya duduk melihat apa yang sedang mereka lakukan di dapur. Bagiku, selain menyapu, melukis, menonton doraemon, bermain di lapangan, memasukkan air ke dalam drum-drum di pagi hari atau makan, memasak di dapur adalah hal yang menyenangkan dan sayang sekali untuk dilewatkan. Aku adalah anak perempuan satu-satunya dikeluargaku. Aku memiliki dua saudara lainnya. Aku memiliki satu kakak laki-laki dan dua adik laki-laki. Tetapi, aku sangat menyukai boneka dan berlenggak-lenggok di depan televisi atau cermin besar milik ibuku. Aku suka mengejar layangan dengan saudara laki-lakiku. Aku juga sangat suka bermain bola dan lompat tali dengan teman-temanku. Tetapi ada satu hal yang tidak aku suka. Itu adalah ikan piranha peliharaan ayahku. Bukan Karena wajah piranha yang menakutkan, tapi karena teman-teman kakakku seringkali bahkan hampir tiap malam datang ke rumahku untuk menemui ayahku. Dan kau tahu apa yang mereka bawa pada ayahku ? Uh, ini sangat menjijikkan! Mereka seringkali membawa cicak-cicak tak berdosa dan beberapa serangga hidup di dalam plastik transparan lalu diberikan pada ayahku untuk dijadikan santapan si piranha. Uuh, betapa menakutkannya itu bagiku. Dan setiap kali mereka datang, aku akan pura-pura tidak mendengar kedatangan mereka. Aku akan menyibukkan diri dengan nenekku, merajut atau menonton televisi jika tugas dari sekolah sudah selesai.

Ember-ember kecil telah terisi penuh dengan air. Sayup-sayup suara adzan dari surau telah terdengar. Cahaya-cahaya lampu yang menerangiku sudah semakin menghilang satu persatu. Matahari sudah mulai terbangun dan membangunkan si ayam jantan. Suara kokoknya nyaring saling menyahut. Dan aku sudah siap untuk menuju surau dengan ayah dan saudara laki-lakiku yang telah bangun dari tidur. Hari ini hari libur, hari libur satu keluarga, pikirku. Sambil membenarkan posisi mukena yang kupakai, aku berharap, semoga ayah dan ibu mengajak kami jalan-jalan. Dan shalat subuhku semakin khusyuk, semoga Tuhan mendengar harapanku di minggu subuh ini. Dan aku akan berjanji untuk lebih rajin mengisi drum-drum dan ember-ember kecil dengan air di tiap awal hari. Untuk keluarga kami…

"ah !!"

Ah, aku hanya menyimpan satu dari banyak percakapan kita di tiap malam.
Kubaca beberapa menit yang lalu. Dan aku mulai menyadari kamu terlalu jauh untuk bisa saling menggapai denganku. Aku inginkan kamu, hingga malam ini larut pun, masih tetap sama.
Aku menemukanmu dalam sebuah perjalanan, sayang. Dan butuh waktu untuk menyadari bahwa aku inginkan kamu.

Ah, aku hanya menyimpan satu dari banyak percakapan kita di tiap malam.
Kubaca beberapa menit yang lalu. Dan aku mulai mengenangmu kembali dalam paksa yang getir. Dalam lamunan yang ingkar. Dalam harapan yang kosong.

Aku suka ketika kamu mencariku dalam sebuah percakapan. Aku suka gambar bergerakmu…yang nyata tak tersentuh di depanku, di remang lampu kamarku.
Aku suka ketika melihatmu diam. Tetapi aku lebih suka ketika suatu kali aku pernah mendengarmu bernyanyi, samar, didepanku. Aku sadari, aku suka sentuhan tanganmu yang sembunyi-sembunyi malu di depanku. Aku suka menyenderkan kepalaku di pundakmu yang gagah, sekalipun kamu malu mengakui, bahwa kamu pun menyenanginya.

Aku suka kamu yang selalu menjadi pemerhati diam-diamku. Aku suka menyimpan rasa ini. Dan kita tau, kita saling memendam, kita saling berdiam. Seringkali aku mempercepat langkahku dari kampus untuk lekas sampai di kamar kost kecilku. Aku menunggumu berada di layar bergerak itu. Dan akhirnya kamu menyapa ketika kubuka kunci kamarku, “Ding!!”, itu suara khas sapaanmu. Lalu aku segera tersenyum sambil mengatur nafasku yang memburu. Mulailah percakapan kita. Dan senyum buatan dari keyboard komputer muncul menggantikan bibirmu yang selalu ingin kulihat. Kita berdua seperti bersebelahan. Seperti memangkas jarak ratusan kilometer untuk saling menyapa, saling mengadu , saling tersenyum malu. Dan ketika hari tampak cerah dan tak ada gangguan apapun, kamu selalu siap berbaring di depanku. Memulai kembali percakapan hangat yang tak pernah terputus, kecuali oleh waktu.

Kita telah banyak berpacaran dengan waktu. Berhasil merayu jarak dengan cantiknya, agar kita berdua duduk manis dalam percakapan hangat. Kita berbaring bersama dengan dinding yang berbeda warna, dengan suhu ruang yang berbeda, dengan temaram lampu yang berbeda watt. Ah, aku suka memperhatikan wajahmu yang tengah sibuk dengan layar. Aku suka memperhatikan rautmu yang tertidur pulas. Dan pagiku akan lebih menyenangkan, ketika terbangun, aku mendapatimu masih tertidur didepanku. Sekalipun aku tak dapat menyentuhmu. Lalu aku dan kamu bergegas mandi, dan kita kembali berpisah dalam nyata.

Tak selamanya itu dalam gambar bergerak atau percakapan tak tersentuh. Kita lalu sering berjumpa. Kita mengalah dengan jarak, kita mengalah dengan waktu. Kamu mengalah dengan kota yang tak terlalu kamu sukai. Kamu duduk dalam gerbong, menggerus jarak, waktu di atas rel, untuk nyata. Tapi kita tersenyum untuk hal itu. Dan aku menunggumu di ujung stasiun. Ah, aku inginkan kamu memang. Hingga kini. Mencoba ingkar pada hati lain. Mencari mati untuk nyata. Aku inginkan kamu, hingga sekarang, sekalipun sapaan khasmu tak lagi terdengar beberapa bulan belakangan ini. Aku inginkan kamu, sekalipun aku telah tergantikan dengan senyum keyboard yang lain.

Aku tak tau malu ?
Dosakah jika aku inginkan kamu ?
Salahkah aku jika paksa kita dalam nyata ?
Benarkah aku membuat kita menjadi budak waktu dan jarak ?
Dosakah jika aku berdoa untuk mendengar “Ding!!” dari gambar gerakmu lagi ?
---------------------------------------------------------------------

Lagi-lagi, tulisan terhenti karena koneksi. Ah !!

"Tuhan, jangan matikan aku, sebelum aku selesai... "


Beberapa hari lagi aku akan melakukan sebuah perjalanan yang tidak terlupakan
Memerlukan beberapa langkah untuk sampai
Sebuah tempat indah yang belum kujamah penuh
Dengan pohon-pohon pinusnya yang berdiri kokoh, kuat tertiup angin dan hujan.
Aku ingin nikmati kembali matahari yang terbangun di timur...diantara gunung Maha Besar...
Di desa tertingginya aku akan mencoba nikmati malam bertenda
Dihangatkan unggun yang semoga tak padam hingga aku terbangun.

Ah, tidak sabar untuk menggigil diantara deru angin dan kabut
Merasakan langkah yang berat karna melawan arah angin
Merasakan kentang hangat besar yang kubakar
Dan hangatnya secangkir wedang secang manis.

Ah, aku ingin segera melangkah jauh
Menapaki setiap tanah yang ada
Mencium harum berbagai tanaman
Merasakan cuaca di berbagai tempat
Memanjakan mata dengan berbagai keindahan warna yang kutemui
Mendengarkan berbagai nada
Dan menulis kembali berbagai cerita.

"Tuhan, jangan matikan aku, sebelum aku selesai... "

Monday, June 7, 2010

" KINANTI "




“Wetni twang ning windhya ri sang siddha agastya. Mandeh mendek mari manundul suka tang rat”

Kinan mendongak ke atas seraya tersenyum pada malam. Angin pegunungan yang bertiup kencang tak menghalanginya terus menatap langit. Rambut panjangnya yang hitam terlempar ke sana ke mari, bergoyang cantik tertiup angin. Matanya yang bulat bercerita banyak pada yang dipandangnya, rembulan setengah paro. Kinan tidak mengerti dengan apa yang dia rasakan. Namun, dia ingin belajar untuk mengerti. Kakinya yang terbalut kain menekuk dengan indahnya, jari-jari lentiknya menari mengikuti alunan nyanyian angin pegunungan. Sebuah darshan yang terbakar tergeletak di sampingnya, menemani Kinan dengan harumnya yang menyengat. “Aku ingat dia, Wahai Bhattaraka. Memahami mata yang ia pejamkan, sangatlah sulit. Apa artinya?” Bisik Kinan sambil terus menengadah ke atas, menatap rembulan setengah paro yang semakin tertutup awan hitam. Jari-jari lentiknya berhenti bergoyang. Kepalanya tertunduk. Rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya yang ayu. Rembulan telah pergi sementara awan hitam menutupi dirinya. Bintang pun belum muncul, seakan mengerti isi hati Kinan yang sedang merindu tak tahu malu. Kinan tak juga berdiri pergi meninggalkan peraduannya yang sunyi.

“Oleh karena kekaguman Windhya terhadap Agastya yang sempurna itu, gunung pun merendah dan membungkuk, tanpa mendorong langit ; dengan demikian dunia pun bergembira”. Kinan mengingatnya kembali. “Ooo… Agastya yang sempurna…bahkan gunung pun merendah dan membungkuk. “ Lanjutnya sambil terus memandang jauh. Hati Kinan kian tak tentu. Kembali terbayang pada mimpinya semalam. Dia yang datang memeluk, tak juga pergi dari ingatan Kinan.
“Kini apakah gunung akan membungkuk dan merendah untukmu, lelaki dalam mimpi? Ah, kau tak sempurna, maka tak ada satupun yang merendah dan menunduk. Pun dengan aku…”. Kinan menguatkan perasaannya. Tidak ada yang membuat laki-laki yang datang dalam mimpi itu menjadi sesosok sempurna untuk Kinan. Ingin sekali rasanya Kinan membuang jauh-jauh ingatan tentangnya. Menepis semua yang dia rasakan sekarang.

Ratusan kata yang pernah keluar dari mulutnya ingin sekali rasanya ia tangkap. Lalu memenjarakannya di sebuah sangkar agar tak lagi lepas. Namun, ingin sekali rasanya, waktu yang kini terus berlari ia tusuk dengan kujang lalu mati dan berhenti berputar. Berhenti lama, lalu berbalik menuju masa lalu. Dan dapat dibayangkan, apa yang ada di ingatan Kinan pasti akan berangsur membaik di dalam kepalanya. Dan menerobos centil masuk dalam kepala Kinan.

“Aaah, andai Bhattaraka… andai… mimpi itu benar. Andai dia merasakan hal yang sama denganku. Andai Bhattaraka… dia mengunjungiku dalam mimpi semalam… Andai kau pertemukan aku kembali dengannya, apa yang akan kutangisi lagi ? masihkan aku akan duduk di sini, memandang bulan yang pergi dengan cepat dan mengadu padaMu, wahai Bhattaraka ?” Lalu Kinan berdiri. Mematikan darshan dan bergegas pergi meninggalkan peraduannya. Harum darshan yang terbakar telah bercampur dengan bunga camboca. Bersatu dengan udara malam, melayang jauh. Mungkin menuju dudukan para resi dan Bhattaraka. Menghantarkan puji dan doa dari Kinan. Jauh dari peraduan Kinan, dimana ia biasa mengadu pada Bhattaraka, seorang lelaki dengan raga halusnya kembali mengikuti seorang perempuan ayu, memasuki mimpi seperti malam-malam sebelumnya. Tak lama, Kinan telah tertidur di bawah patung Kumbhayoni…

"Piniluta"

"Rubaya pun piniluta dera prasthi..."

Dan tertutuplah nibhananya ketika prasthi bertumpuk hebat mengalahkan paramatatwa...
Berderai hebat mengacuhkan segala nyata.
Menyerang pusak yang bertengger di atas kepala manusia sejak lahir.

Pranaja ini tak juga kunjung diam. Selalu beringsut-ingsut pergi, mendatangi malam. Merebah dalam sunyi.
Tapi malam kini tak melulu sunyi. Sudah terlalu ramai untuk becerita hebat, mengadu antara pranaja dengan sang pusak... Tak bisa disatukan. Ratri yang sunyi dulu tak didapatkan kini, maka mundurlah rubaya menuju pagi. siapa sangka pagi kini lebih sunyi dibandingkan malam, sang ratri.

Ah, Prasthi selalu merayu...Tak tahu diri didepan ratri...


Tangkil, Kinanti...

Dingin masih menggantung pada malam dengan bulan penuhnya.
Di dalam sebuah griya, seorang perempuan masih duduk melakukan jejahitan. Beberapa banten tersimpan rapi disamping canang. Griya diterangi cahaya rembulan, yang seakan ingin ikut membantu Kinanti menyelesaikan jejahitan. Tidak jauh dari griya, sebuah jineng masih ramai oleh para lelaki yang tengah sibuk memasak untuk upacara esok. Kinanti hanya bisa terus melanjutkan jejahitan, tanpa mempedulikan ramainya di luar griya. Tangannya lihai melipat janur, metanding untuk esok hari. Namun, pikirannya masih melayang jauh pada natah diujung desa. Memikirkan Tu Biang yang mengandung dan memeliharanya sejak lahir yang tengah berada jauh dari dirinya. Teringat Tu Biang yang selalu mengunyah base yang memerahkan gigi-giginya. Atau ketika Tu Biang meninabobokan dirinya sebelum suara celepuk, si burung hantu, bersuara dengan keras menakut-nakuti Kinanti kecil.

Suara celepuk malam ini mengingatkan Kinanti, bahwa malam semakin larut. Para parekan yang tengah berjaga pun beberapa sudah tertidur. Kinanti membereskan banten dan menyelesaikan jejahitan. Payas Agung yang ia gunakan disimpannya rapi di sisi dipan. Terbaringlah tubuhnya. Namun, matanya tak juga terpejam. Wajah Tu Biang kembali mengusik. "Sedang apa malam ini, Wahai engkau, Ibunda? " Bisik Kinanti. Dan bulan pun semakin tinggi. Suara celepuk semakin tak terdengar. Para lelaki di jineng pun sudah tertidur lelap, dininabobokan oleh malam.

Pagi-pagi sekali, Kinanti sudah berada di Merajan. Bersimpuh dengan asap dupa dan banten, menunggu... "Tu Biang, datanglah pada upacara ini..."

ILANA



Ilana, Ilana...
Selamat Pagi, perempuanku..

Ilana,Ilana
Terakhir aku melihatmu dengan mata telanjangku
Betapa kamu memiliki semuanya..

Ilana,Ilana
Tahukah kau,
menjadi tokoh utama dalam cerita-ceritaku?
Menjadi tokoh antagonis dalam imajinasiku?

Ilana,Ilana
Sini, kupeluk kau dengan senyum khasmu
Agar kau tau betapa aku inginkanmu..
Agar kau tau, perempuan sepertiku sangat inginkanmu..
Inginkan Ilana..