Monday, June 7, 2010

Tangkil, Kinanti...

Dingin masih menggantung pada malam dengan bulan penuhnya.
Di dalam sebuah griya, seorang perempuan masih duduk melakukan jejahitan. Beberapa banten tersimpan rapi disamping canang. Griya diterangi cahaya rembulan, yang seakan ingin ikut membantu Kinanti menyelesaikan jejahitan. Tidak jauh dari griya, sebuah jineng masih ramai oleh para lelaki yang tengah sibuk memasak untuk upacara esok. Kinanti hanya bisa terus melanjutkan jejahitan, tanpa mempedulikan ramainya di luar griya. Tangannya lihai melipat janur, metanding untuk esok hari. Namun, pikirannya masih melayang jauh pada natah diujung desa. Memikirkan Tu Biang yang mengandung dan memeliharanya sejak lahir yang tengah berada jauh dari dirinya. Teringat Tu Biang yang selalu mengunyah base yang memerahkan gigi-giginya. Atau ketika Tu Biang meninabobokan dirinya sebelum suara celepuk, si burung hantu, bersuara dengan keras menakut-nakuti Kinanti kecil.

Suara celepuk malam ini mengingatkan Kinanti, bahwa malam semakin larut. Para parekan yang tengah berjaga pun beberapa sudah tertidur. Kinanti membereskan banten dan menyelesaikan jejahitan. Payas Agung yang ia gunakan disimpannya rapi di sisi dipan. Terbaringlah tubuhnya. Namun, matanya tak juga terpejam. Wajah Tu Biang kembali mengusik. "Sedang apa malam ini, Wahai engkau, Ibunda? " Bisik Kinanti. Dan bulan pun semakin tinggi. Suara celepuk semakin tak terdengar. Para lelaki di jineng pun sudah tertidur lelap, dininabobokan oleh malam.

Pagi-pagi sekali, Kinanti sudah berada di Merajan. Bersimpuh dengan asap dupa dan banten, menunggu... "Tu Biang, datanglah pada upacara ini..."

No comments:

Post a Comment