Monday, February 14, 2011

“ Dari Kanekes Untuk Negeri”

Pada suatu pagi, ibu menceritakan rencananya untuk melakukan sebuah perjalanan bersama. Ketika saya tanya, kemana kami akan pergi, ibu menjawab, “BADUY!”. Lalu adik saya bertanya, mengapa harus Baduy? Dan ibu menjawab sederhana. “Ibu ingin belajar.” Hanya itu yang ibu katakan. Sedangkan saya jelas-jelas merasa ogah untuk pergi ke baduy karena saya sudah pernah ke sana beberapa tahun yang lalu bersama teman-teman SMU. Belum lagi, menuju baduy tidaklah mudah. Kita diharuskan untuk berjalan kaki sejauh kurang lebih 16 KM untuk menuju Desa Baduy Dalam yang terdekat. Apalagi saat ini musim hujan. Jalanan yang tidak beraspal dan curam pasti akan benar-benar merepotkan kami. Saya jelas-jelas menolak jika kami harus melakukan perjalanan ke baduy di saat musim hujan seperti ini dengan alasan keamanan. Tapi ibu tetap dengan pendiriannya. Bahkan ibu mengizinkan saya dan adik laki-laki saya untuk tidak mengantarnya. Melihat keseriusan ibu untuk pergi, maka, mau tidak mau, saya dan adik saya sepakat untuk ikut ke Baduy dengan tujuan menemani ibu dan ayah saya.

Perjalanan dimulai dari Desa Ciboleger di malam hari. Desa ini adalah desa terdekat sebelum wilayah Baduy. Setelah saya, ayah, ibu dan adik lelaki saya berkemas, akhirnya kami pun memulai perjalanan dengan ditemani seorang guide bernama Pak Acip menuju Desa Gajeboh, sebuah desa di Baduy yang akan menjadi tempat kami menginap. Masing-masing dari kami menggendong sebuah ransel dengan ukuran lumayan besar. Syukurlah malam ini tidak hujan, jadi perjalanan kami cukup lancar walaupun sesekali suara-suara hewan liar terdengar cukup mengerikan di telinga saya ditambah dengan betapa gelapnya jalanan yang saya pun kurang tahu pasti, bagaimana gambaran di kanan kiri kami. Beberapa menit pertama saya dan adik saya sempat mengeluh betapa gelapnya hutan ini. Sambil duduk di atas sebuah batu pijakan saat kami beristirahat, ibu bicara. “Tuhan menciptakan segala sesuatu di tubuh kita, di dunia ini, dengan sempurna. Mata kita juga dibuat pintar beradaptasi dengan gelapnya malam. Coba, kamu masih bisa melihat bayangan-bayangan pepohonan kan, bahkan hanya dengan senter handphone kamu itu.” Itulah pelajaran pertama yang kami dapatkan. “Tuhan menciptakan manusia dengan kesempurnaannya, termasuk bagaimana tubuh kita bisa beradaptasi dengan alam”. Tidak berapa lama kemudian, adik saya mengeluarkan rokoknya, menyalakan dan menghisapnya perlahan sambil duduk menyender, mengistirahatkan kaki-kakinya. Tidak lama dari itu, ayah saya bicara agak sedikit keras sambil diiringi tawa kecilnya. Ia menyayangkan sikap adik saya yang mengotori udara di sana.
“Sayang banget,ki! Kamu mengotori udara yang sejuk kayak gini. Coba, kalau semua orang yang datang kemari seperti kamu, memasukkan asap rokok di tengah-tengah udara yang terjaga sejak dulu. Tidak ada satu spot pun di negari ini yang jauh dari polusi, nantinya. Baiknya, dimatikan rokoknya…” Ayah mengakhiri pembicaraannya yang kemudian diikuti dengan adik saya yang mematikan rokoknya dan kemudian dimasukkan ke dalam kantung celana. Satu jam pertama, saya sudah mulai terbiasa dengan track menuju baduy. Kadang menanjak, licin, melewati sungai dan berjalan perlahan karena pinggiran jurang yang menganga tak terlihat karena gelap. Maka, dua jam kemudian, kami sampai di sebuah perkampungan baduy. Terlihat rumah-rumah dengan atap rumbia dan dinding bambu. Tidak ada penerangan dan suara sama sekali. Sama seperti beberapa tahun yang lalu ketika saya mengunjungi baduy, tidak ada listrik ataupun kegaduhan suara yang berasal dari televisi ataupun radio. Beberapa saat saya merasa berada di dunia yang berbeda. Kesunyian dan kegelapan di sana membuat saya merasa nyaman dan bahagia, entah mengapa. Dengan hanya berlapis sleeping bag yang saya bawa, saya berbagi dengan adik saya agar kami berdua tidak kedinginan saat tidur. Menyenangkan, karena sudah lama sekali kami tidak sedekat ini. Apalagi setelah kami berdua masuk kuliah dan jarang sekali bertemu. Ternyata perjalanan ini juga membuat kami sekeluarga semakin dekat kembali.

Keesokan paginya, saya dan ibu mencari tempat di sungai untuk mencuci muka. Karena kami menginap di Baduy Luar, maka kami diizinkan menggunakan sabun, shampoo dan pasta gigi. Kami berdua memilih satu lokasi di sungai yang tengah ramai oleh wanita baduy yang tengah mencuci baju, mandi atau hanya sekedar memandikan anak-anaknya. Air sungainya begitu dingin dan jernih. Para perempuan baduy berkumpul, tertawa dan berbincang sambil melakukan kegiatan masing-masing. Kami melihat kesederhanaan di sini. Para wanita menggunakan pakaian yang sama. Semua berselendang biru tua atau hitam. Dan semua lelaki menggunakan ikat kepala berwarna hitam atau biru tua. Tidak ada kursi atau lemari di dalam rumahnya. Mereka benar-benar menggantungkan hidup dari alam. Maka, tidak heran mereka sangat menghargai dan menjaga alam di mana mereka hidup. Suara burung diiringi gesekan ranting-ranting bambu membuat suasana sangat nyaman. Tiba-tiba saja saya merasa tubuh ini sangat sehat. Tidak ada rasa pegal dan lelah walaupun telah melakukan perjalanan yang cukup panjang malamnya. Dari sungai, terlihat atap-atap rumah mengeluarkan kepulan asap berwarna putih. Mereka ternyata tengah memasak. Harum tanah yang basah oleh embun bercampur dengan asap dapur membuat kesan tersendiri bagi kami, sebagai pendatang. Suasana desa yang asri membuat semangat tubuh untuk bekerja. Beberapa perempuan tua-muda menggunakan caping khas mereka dengan menggendong sesuatu di punggungnya menggunakan kain, berjalan beriringan tanpa alas kaki. Sesekali terdengar canda tawa mereka. Saatnya menuju ladang.

Sekitar pukul tujuh pagi, setelah kami bebenah diri dan sarapan, kami berjalan menuju baduy dalam, Desa Cibeo dan Cikartawana. Itulah dua nama desa Kanekes Dalam yang akan kami kunjungi. Perjalanan ini sangat menyenangkan walaupun saya tahu, perjalanan ini akan sangat melelahkan. Saya dapat melihat barisan bukit hijau dan mendengarkan gemuruh suara sungai dibawahnya. Hari itu tidak terlalu panas. Matahari bersinar cukup bersahabat. Kami sempat melewati beberapa jembatan yang terbuat dari bambu. Karena ini di Baduy, maka jembatannya pun khas baduy, tanpa paku ataupun bahan-bahan lain, kecuali ijuk yang diambil dari pohon aren dan bambu yang disambung-sambung. Saya sangat mengagumi arsitektur mereka. Beban seberat apapun tampaknya tidak membuat jembatan ini roboh. Bahkan mereka sangat kuat. Ternyata, untuk membuat sesuatu yang besar tidaklah harus melulu mengorbankan alam. Begitu juga dengan sistem ladang mereka. Di beberapa titik ladang yang kami lewati, saya melihat tanaman-tanaman padi dan tanaman-tanaman rempah ditanam tanpa merusak struktur tanah. Mereka menanam tanaman yang disesuaikan dengan kontur tanah. Pepohonan yang tumbuh pun besar-besar. Mereka dibiarkan tumbuh alami. Orang-orang baduy sangat menghargai keberadaan alamnya seperti mereka menghargai para leluhurnya. “Itu mengapa di baduy jarang sekali terjadi bencana. Bahkan tidak ada berita, orang baduy pernah ada yang mati kelaparan. Itu karena mereka menghargai dan menghormati alam seperti mereka menghargai dan menghormati leluhurnya. Alam adalah bagian dari mereka, maka jika alam rusak mereka pun akan hancur. Itu kenapa mereka tetap menjaga alam dan isinya. Ya, demi menjaga kelangsungan hidup mereka juga. Mereka dibiasakan untuk sederhana dan selalu bersyukur, tidak serakah.” Ibu berbicara pada kami di tengah-tengah perjalanannya sambil terkadang mengusap dahinya yang berkeringat. Betul kata ibu, bagaimanapun, manusia, alam dan isinya adalah bagian yang saling terhubung. Sebagai makhluk bumi yang paling sempurna, sudah seharusnya kita hidup seimbang. Demi kelangsungan hidup manusia juga, kita seharusnya membiasakan diri untuk hidup sederhana dan tidak tamak. Ah, betapa indahnya alam di sini. Apalagi Indonesia memang memiliki banyak tempat yang indah, betapa beruntungnya kita, manusia-manusia Indonesia ini, sebenarnya.
Setelah melalui perjalanan panjang selama kurang lebih tiga jam, akhirnya kami sampai di wilayah Desa Cibeo. Desa Cibeo ini sudah masuk ke dalam desa Baduy Dalam. Sebenarnya mereka biasa menyebut diri mereka sebagai orang Kanekes. Desa Cibeo sendiri merupakan Wilayah baduy dalam yang menangani masalah pertanian dan hal lain yang berbau dengan seistem pertanian dan adat. Sepanjang perjalanan menuju Cibeo, saya beberapa kali bertemu dengan orang-orang baduy dalam yang tengah meladang di huma. Mereka juga memiliki tempat penyimpanan padi yang biasa disebut ‘leuit’. Leuit sangat rapih dan letaknya agak jauh dari perkampungan. Selain memiliki arsitektur yang bagus, orang Baduy juga memiliki sistem pengairan dan pertanian yang baik. Saya tidak menemukan selokan selama di baduy! Saya merasa, walaupun mereka tidak mengenyam bangku sekolah, tetapi ilmu mereka jauh lebih baik daripada orang-orang kota yang hidup modern. Mereka lebih berfikir bijak tentang alam dan hidup. Ketika saya memasuki kampung adat Cibeo, tampaklah pemandangan yang sama dengan beberapa tahun yang lalu ketika saya terakhir berkunjung. Bentuk rumah, struktur kampung, semua sama. Begitu pula dengan rumah Pu’un dan Jaro. Walaupun mereka memiliki jabatan di kampungnya, tetapi rumah mereka juga sama dengan yang lain, tidak membuat Pu’un dan Jaro menjadi spesial. Yang membedakan antara warga biasa dengan jaro dan Pu’un hanyalah tugas yang diemban. Hanya saja, peraturan yang berlaku adalah warga dilarang menemui Pu’un jika tidak ada kepentingan, apalagi pendatang atau para tamu, tidak diizinkan berjalan melebihi batang bambu yang dipasang menuju rumah Pu’un. Ketika saya bertanya apa pekerjaan Pu’un dan jaro sehari-hari, ternyata jaro dan Pu’un pun pergi ke ladang, sama dengan warga lainnya. Mereka hidup berdampingan dengan aman, sederhana, sama rasa dan taat pada adat. “Saling menghargai dan melindungi.” Kata seorang warga Cibeo yang berpakaian serba putih dengan ikat kepala putih ketika saya berbincang dengannya mengenai keadaan warga di Baduy ini. Berada di sana berlama-lama tidak membuat saya bosan walaupun siang itu sangat sepi. Perempuan-perempuannya menunduk jika berpapasan dengan orang luar. Mereka tersenyum jika ada yang menegurnya. Sangat bersahaja dan sederhana. Itu yang membuat saya sangat menyukai tempat ini. Setelah kami berbincang dengan jaro, kami pun berpamitan pulang. Setelah sebelumnya kami disuguhi daun sirih dan air putih dengan menggunakan gelas yang terbuat dari bambu. Memang, semua yang ada di sana berasal dari alam. Dan mereka gunakan sebaik mungkin dan sebisa mungkin untuk tidak berlebihan. Setelah dua jam kami berada di sana, maka kami meneruskan perjalanan pulang dengan melewati Kampung Cikartawana. Siang itu hujan lebat, membuat kami sedikit sulit melalui jalanan tanah yang menanjak dan licin. Belum lagi jurang yang menganga di tepi jalan setapak yang licin, membuat kami ekstra hati-hati.

Di tengah hujan saat itu, kami seringkali bertemu dengan perempuan atau anak-anak baduy yang baru pulang dari ladang. Tampak mereka memang terbiasa dengan alam di sini. Kaki-kaki kuatnya melangkah dengan lincah dan pasti diantara tanah yang becek dan licin. Tidak ada payung ataupun jas hujan. Mereka cukup menggunakan daun pisang yang lebar untuk memayungi kepala. Bahkan tanpa alas kaki. Sekali lagi, saya mengagumi mereka yang terlahir di alam bebas seperti ini. Mereka sungguh tidak terpengaruh dan tidak terikat dengan keduniawian dan dunia luar yang serba modern dan instan.

Orang Baduy sangat menjaga keharmonisan alam dan hidup mereka. Tatanan pemerintahan, adat dan agama sudah diatur dengan rapi sejak ratusan tahun yang lalu. Tidak ada rasa marah dan dendam, ketika perlahan luas tanah mereka dipersempit oleh Negara. Mereka tetap menerima dan sebisa mungkin terus menjaga kearifan lokal yang telah tumbuh sejak ratusan tahun yang lalu, yang sudah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Keteguhan hati dan kesederhanaan membuat mereka bersahaja, bersyukur dan tetap menjaga keseimbangan alam sekitar mereka.
Saya membenarkan tujuan ibu untuk pergi ke Baduy saat itu. “Ingin belajar.” Ya, saya rasa kita memang harus banyak belajar dari orang-orang seperti mereka, yang hidup sederhana, menjaga keseimbangan alam dan tidak berlebihan. Apalagi Indonesia ini memiliki banyak sekali kekayaan alam hayati, kekayaan budaya, bahasa dan kearifan lokal. Betapa kita harus banyak belajar untuk membangun negeri ini dari orang-orang seperti mereka yang selalu menghargai dan menjaga alam sekitarnya. Membangun negeri ini tidak melulu dengan kegiatan fisik, tetapi juga diperlukan pembangunan mental manusia di dalamnya. Belajar menghargai, menjaga, dan mempelajari sejarah, keragaman dan keseimbangan alam. Itu yang kita perlukan. Maka jadilah perjalanan kali ini benar-benar sangat menyenangkan. Membuat kami pulang dengan banyak ilmu dan inspirasi yang didapat.

"And Kanekes : I learned again how to live...how to maintain and respect our nature...how to be grateful...and also learned how to pull ourself from the greed..."