Wednesday, July 21, 2010

Mahayogi di Tempat Tinggi

“Lepaskan saja…” Seorang perempuan berselendang merah dan bergincu merah api itu terus berteriak. Memaksa emosiku memuncak, menuruti teriakannya.

“Cepat selesaikan memintalnya..Lalu lepaskan dirimu.. sejauh mungkin. Ikuti saja angin… jangan lupa, nyalakan darshan saat kau terbang nanti…” Dia terus berteriak. Tak peduli gincu di bibirnya belepotan. Ludahnya muncrat ke sana-kemari. Lalu aku segera menggerakkan jari-jari tangan, beriringan. Jantungku berdegup tak karuan. Ah, aku ingin cepat pulang saja rasanya. Jantung ini terus memompa penuh dan mengalirkan semua darah menuju otak. Pintalanku sedikit lagi selesai.

“Cepat, jangan pikirkan apapun ketika kamu ingin segera pulang. Jangan bersedih untuk apapun. Jangan berharap juga kau akan menari dengan tawa yang lepas…Kau hanya butuh terbang lalu berpijaklah sesukamu..mungkin diantara kabut dan gesekan ranting itu..tempat tertinggi, tujuanmu…” Perempuan dengan gincu yang belepotan itu masih saja bicara. Memenuhi otak, melemaskan persendian. Aku terlalu inginkan itu. Si perempuan bergincu merah api itu tahu betul mauku. Sial, umpatku sepelan mungkin agar tak terdengar olehnya.

Pintalanku tidak juga segera selesai, meski tanganku telah lelah bergerak. Meski mata ini lelah mengikuti jalan geraknya benang-benang ini. Ah, aku ingin segera mengendap pelan menuju tempat tertinggi. Menyalakan darshan dan menciumi tanah tempatku berpijak nanti. Tak pedulikan sapa orang-orang disekelilingku. Betapa nikmatnya itu. Aku ingin segera menemui Mahayogi.

“Ah, lelah aku menunggumu…cepat selesaikan ini. Mereka di tempat tertinggi tak bisa menunggumu terlalu lama..bertahun-tahun!! Kau ingin pergi tidak,ha ??” Si perempuan mendekatkan wajahnya padaku. Wajahnya yang ayu terlihat begitu menggodaku. Jelas sekali binar matanya sekalipun ucapannya payah, pedas betul. Ah, aku tidak bisa membencinya. Dialah teman perjalananku nanti, si perempuan bergincu merah api itu. Pengantarku hingga berada di gerbang tempat tertinggi.
Ah, Bahkan sebuah drone atau tempayan tua itu sudah lama bersamaku untuk sesembahan nanti. Terbanglah kami suatu malam nanti pada bulan Crawana, pada suatu hari yang cocok, tanggal tigabelas dari parohan bulan gelap seperti apa yang dituliskan pada 800 tahun Caka.

Perempuan bergincu itu berasal dari Srikaton, dekat Lawu. Dia khusus datang beratus tahun yang lalu untuk mengantarku ke tempat tertinggi. Menghaturkan sesembah dengan sebuah drone tua yang ia bawa pula saat pertamakali menemuiku. Tidak hanya itu, dia juga memberiku 13 dha dan 6 ma. Ujarnya lagi, itu untuk Caityaku di tempat tertinggi nanti. Dimana aku akan bebas dari segala ikatan tanpa sesuatu di dalam pikiranku. Dan kedua tanganku akan terkatup di depan dada, menjumpai Mahayogi.
Maka, aku harus selesaikan segara pintalanku. Bergerak lebih cepat lagi. Tak pedulikan apapun.

Wednesday, July 14, 2010

Nenek...

Pagi ini aku menggerutu di depan ibuku, soal panggilan ‘teteh’ oleh beberapa keluargaku. Tapi bagaimanapun, aku ini memang memiliki darah sunda, ibu bilang begitu. Lalu kami mulai berbicara soal nenekku. Nenekku, ibu ayahku. Sekitar sebelas tahuh yang lalu, beliau wafat. Sudah lama sekali. Tapi aku masih ingat betul tentang dia. Dan ibu pun masih sangat menghormatinya.

Nenekku itu…
Dia yang memberikan nama ‘Ningrum’ di belakang nama panjangku. Karena ibu dari nenekku memiliki nama itu. Harum artinya, ujar ibu. Tidak semua cucu perempuannya yg mendapatkan nama itu, dan aku menyukainya. Aku ingat betul sosok nenekku itu, berbadan tinggi besar dan memiliki tahi lalat cukup besar di pipinya. Dia selalu menggunakan kerudung, menutupi rambut-rambutnya yang memutih. Setiap sore, perempuan sunda itu selalu mengaji. Tidak pernah alpa. Dan aku sering heran melihatnya di masjid tiap sore ketika aku bermain dengan teman-temanku. Duduknya bersimpuh bersama nenek-nenek lain. Ramai betul mereka bersuara. Dan aku suka sekali jika nenek mulai memasak. Nasi ‘akeul’ nya yang hanya ditaburi garam bisa aku lahap dengan cepat. Dan ketika hujan besar datang, neneklah orang paling sibuk di rumah. Ya, dia sibuk menyelimuti aku dan adikku yang masih kecil dan dipeluknya erat-erat. Kata nenek suatu hari, anak kecil rentang terkena petir… Tapi itu tidak membuatku takut pada petir saat dewasa. Aku menyukai hujan. Ingatanku tentangnya yang masih sering muncul adalah saat aku berdua dengannya sore hari kala hujan. Pintu depan dibiarkannya terbuka, dan terlihatlah kebun di seberang rumah yang tertutup kabut. Kali ini nenek tidak membawaku dan adikku ke dalam kamar lalu diselimuti. Nenek kali ini menyuguhkan wortel mentah yang segar dan sudah dicuci. Selain itu nenek membawakan kami jagung kukus hangat yang sudah dipreteli dan di atasnya diberi sedikit kelapa parut. Aih, ternyata nenek mengajak kami menatap pepohonan diantara kabut sambil menikmati wortel dan jagung. Sedap sekali. Lalu nenek bicara, bercerita panjang. Dan akhirnya kami terlelap. Ah, aku rindu itu…Aku rindu nasi ‘akeul’ buatan nenek. Aku rindu ikan mas goreng renyah dan sayur kacang merah buatan nenek. Aku rindu semua soal nenek, termasuk tahi lalatnya. Hehe Nenek pasti cantik sekali saat muda. Nenek sangat berwibawa, semua orang menghormatinya. Apalagi jika nenek sedang membawa kami bermain ke desanya, bermain di kebun miliknya di kaki gunung. Orang-orang yang bekerja di kebun segera mencari kayu bakar dan membakar ubi atau singkong. Lalu kami duduk di bawah pohon rindang sambil menikmati ‘beleum hui’. Itulah nenekku, selalu membuatku senang. Selalu membuat kami, cucu-cucunya merasa nyaman dan kenyang! Haha Ah, rindu ini menggebu. Semoga tidak sesaat.
“Kita doakan nenek” Itu kata-kata terakhir ibu tadi sesaat sebelum kami mengakhiri cerita.